Membaca surat saudara Stevri Indra
Lumintang seorang sekretaris BMPTKI yang ditujukan kepada Presiden Jokowidodo yang tidak ditujukan secara langsung, dalam arti dikirimkan langsung kepada Presiden, tetapi di tulis dalam situs Institut theologia Insani Internasional (saya juga tidak tahu lembaga macam apa itu). Stevri Lumintang, secara khusus pada bagian pengantar mengatakan bahwa "Pendidikan Tinggi Keagamaan Kristen Indonesia terjajah," saya
terperangah, siapa yang menjajah?
Tulisan saudara Stevri Lumintang dalam pengantarnya mengatakan demikian, “Tulisan singkat dan
sederhana ini adalah suatu permohonan kepada Presiden Republik Indonesia, Bapak
Ir. Joko Widodo untuk kiranya dapat memerdekakan semua PTKKI yang dituntut
dengan standar nasional pendidikan, khususnya sembilan standar akreditasi perguruan
tinggi, namun tidak diberikan jalan yang sesuai untuk mencapai standar
tersebut, seperti yang dijelaskan pada uraian berikut ini.”
Pernyataan bahwa PTKKI harus dimerdekakan
dari “Sembilan standar akreditasi perguruan tinggi”menurut saya salah kaprah
dan dibangun atas ketidakpahaman Stevri Lumintang tentang standar Pendidikan tinggi.
Memang perkataan tersebut kemudian dilanjutkan dalam tulisannya, bahwa PTKKI
bisa merdeka kalau Presiden RI yang memerdekakan. Tepatnya dituliskan demikian” Hanya
Presiden Republik Indonesia, Yang Terhormat Bapak Ir. Joko Widodo yang dapat
membuka jalan tersebut. Jalan tersebut adalah Direktorat Jenderal Pendidikan
Kristen.”
Solusi Stevri Lumintang menurut saya
seperti oramg yang tak sadar keadaan, mengapa? Bisa saja di kementerian agama
ada Direktorat Jenderal Pendidikan Kristen, tapi semua itu sudah sirna, Ketika gereja-gereja
di Indonesia menolak disahkannya UU Pesantren dan Pendidikan Tinggi Keagamaan. Kalau ingin diperjuangkan semestinya adalah "Direktorat Jendral Pendidikan Keagamaan," artinya semua pendidikan agama, Islam, Kristen, Hindu, dll. berada dalam direktorat jenderal pendidikan keagamaan. Itulah sebabnya Ketika keluar PP tentang Pendidikan Tinggi Keagamaan Tahun 2019,
kita perlu bertanya bagaimana dengan PP
Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan tahun 2007. PP itu mengacu pada Sisdiknas
2003, dan dasar hukum PNPS65.
Saya mungkin tidak akan membahas lebih
dalam ketidak pahaman Stevri Lumintang tentang kebijakan, tetapi saya harus bertanya mengatakan apa yang dibuat oleh perkumpulan PTKKI. Apalagi sangat disayangkan
kelahiran BMPTKI yang biasa saya sebut kecelakaan, karena pada waktu itu sudah
banyak Perkumpulan PTKKI, seperti Persetia, Pasti, PDPTKI, dan semua menolak kehadiran BMPTKI, karenamemang lembaga-kembaga yang ada itu jauh
mumpuni dari pengurus BMPTKI, bahkan bukan rahassia pengurus yang sangat
bergiat dia BMPTKI jika kita membaca dan mendengar di Youtube ada yang menggunakan ijazah Palsu.
Menurut Saya Stevri Lumintang perlu membersihkan Lembaga itu.
Selanjutnya perlu
dipahami bahwa perguruan tinggi memiliki otonomi untuk pengelolaan perguruan
tinggi dan juga penetapan mutu perguruan tinggi. Pemerintah hanya menetapkan
standar minimal untuk melindungi rakyat agar tidak menghabiskan waktu dan
biaya dengan belajar disebuah perguruan tinggi tidak bermutu.
Hal-hal lain bersifat teknis pengurusan
NIDN, Jafung dll. mungkin saya tidak akan membahas saat ini, dan saya akan
membahasnya kemudian.
Kiranya PTKKI Berjaya untuk meningkatkan
standar perguraun tingginya , bukan hanya pada standar minimal, yaitu 24
standar, tetapi juga melampaui standar Dikti.
Dr, Binsar Antoni Hutabarat
https://www.binsarhutabarat.com/2022/04/tanggapan-terhadap-surat-stevri.html
Berikut isi surat Stevri Lumintang
DIREKTORAT JENDERAL PENDIDIKAN KRISTEN
Permohonan Kepada Presiden
Republik Indonesia, Bapak Ir. Joko Widodo, Mengatasi
Jalan Sempit, Panjang dan Buntu bagi PTKKI Menuju Akreditasi Unggul
Stevri
P.N. Indra Lumintang1
Kemerdekaan kampus di Indonesia adalah hak
semua perguruan tinggi, termasuk 386 Perguruan Tinggi Keagamaan Kristen
Indonesia (PTKKI), dan oleh sebab itu, maka penjajahan terhadap perguruan tinggi
apapun adalah tidak sesuai dengan perikemanusian dan perikeadilan sebagaimana
yang diamanatkan dalam Konstitusi (UUD 1945). Tulisan singkat dan sederhana ini
adalah suatu permohonan kepada Presiden Republik Indonesia, Bapak Ir. Joko Widodo untuk kiranya dapat
memerdekakan semua PTKKI yang dituntut dengan standar nasional pendidikan,
khususnya sembilan standar akreditasi perguruan tinggi, namun tidak diberikan
jalan yang sesuai untuk mencapai standar tersebut, seperti yang dijelaskan pada
uraian berikut ini.
Pendahuluan
Suatu bangsa yang kuat diukur oleh kuatnya
pendidikan bangsa tersebut. Inilah filosofi para founding father bangsa
Indonesia, dengan paradigma berpikir build nation, build school.2 386 Perguruan Tinggi Keagamaan
Kristen (Sekolah Tinggi Teologi atau Sekolah Tinggi Agama Kristen) yang
tersebar di seluruh wilayah NKRI sebagai sub-sistem pendidikan nasional adalah
suatu kekuatan bagi kemajuan dan kedewasaan bangsa Indonesia. Tidak ada
kemajuan tanpa pendidikan3, dan tidak ada kedewasaan tanpa pastoral care.4 Peran para scholar-pastor
(dosen-pendeta) di dalam dan melalui PTKKI telah menghasilkan banyak sumber
daya anak bangsa yang sedang memperkuat pilar-pilar bangsa Indonesia beragama,
bermoral dan beradab sejak sebelum kemerdekaan. Para scholar-pastor terus
berjuang membiayai sendiri hidup dan sekolahnya juga mengabdi “tanpa gaji”
kecuali hanya “allowance” mengajar anak-anak bangsa sekalipun melalui jalan
sempit dan kotor era Orde Baru, kemudian semakin sempit, rusak dan panjang
akibat krisis multidimensi era Orde Reformasi.5 Tiba-tiba, tanpa tanda, pada tahun 2012, gendang
“akreditasi” ditabuh bersamaan dengan tuntutan mutu global di segala bidang,6 maka tak pelak semua PTKKI seperti
“cacing kepanasan” dan kemudian masing-masing berjuang sendiri melewati jalan
sempit, panjang dan buntu menuju akreditasi unggul.
Menemani perjalanan para scholar-pastor,
sejak tahun 1996 penulis sendiri pun terpanggil mengabdi di dalam dan melalui
dunia pendidikan tinggi teologi, dan sejak saat itu sampai tahun 2022
tersimpan “kemarahan besar” dalam kalbu sebagai salah seorang anak bangsa.
Penulis bersama dengan tiga anak kandung saling menceritakan mutu masing-masing
universitasnya dengan akreditasi unggul, namun dengan dedikasi dosen, manajemen
mutu kelas dan program studi yang rendah. Mutu perguruan tinggi masih dalam
tataran “data” administrasi, belum bermutu yang sebenarnya. Wajah perguruan
tinggi seperti ini tentu sangatlah menyedihkan. Sekalipun terdengar dan
terlihat bahwa banyak upaya yang dilakukan oleh Pemerintah dan masing-masing
perguruan tinggi, namun hanya upaya “menambal jalan-jalan berlubang” dengan
terus-menerus mengganti kurikulum yang justru semakin memperbanyak dan
memperbesar lubang Pendidikan di Indonesia. Kenyataannya dari tahun 2010 sampai
tahun 2022 ini, mutu pendidikan di Indonesia masih terbilang rendah, sehingga
Indonesia berada di peringkat 55 dari 75 negara, masih berada jauh di bawah
Malaysia dan Thailand.7
Bagaimana dengan mutu perguruan-perguruan tinggi
keagamaan Kristen di Indonesia (PTKKI)? Menurut pengamatan dan penelusuran
penulis, sekalipun nilai akreditas pada umumnya program-program studi PTKKI
masih tergolong rendah yakni baik, dan hanya terhitung jari tangan kiri yang
terakreditasi “unggul”, namun pengabdian dan kompetensi dosen-dosennya sangat
tinggi. Hal ini disebabkan oleh “spirit” perjuangan dalam keterbatasan, juga komitmen tinggi para dosen
sebagai hamba Tuhan yang mengabdi kepada Tuhan, jujur dalam proses pembelajaran
yang bermutu, motivasi kuat para mahasiswa karena panggilan Allah, dan sebagian
diperkaya oleh pola “seminary” dengan asrama-asramanya.8 Sayangnya, masalah utama yang
dihadapi hampir semua perguruan tinggi keagamaan Kristen di Indonesia ialah
karena “jalan” yang disediakan oleh Pemerintah “terlalu sempit”. Padahal peran
semua PTKKI di Indonesia telah memperluas jalan bagi pembangunan bangsa
Indonesia di segala bidang yang berakar pada pembangunan sumber daya manusia
Indonesia yang beragama, bermoral dan beradab.
Jalan Sempit, Rusak, Panjang dan Buntu bagi
Perguruan Tinggi Keagamaan Kristen Mencapai
Akreditasi Unggul
Perguruan
tinggi keagamaan di Indonesia telah ada sebelum bangsa Indonesia merdeka. STT
Jaffray Makasar, mulanya bernama Sekolah Alkitab Makasar berdiri tahun 1932
oleh Robert A. Jaffray.9 STT Jakarta (sekarang Sekolah Tinggi Filsafat
Theologi) berdiri tahun 1934 di Bogor.10 STT SAAT (Seminari Asia Tenggara) didirikan oleh
Dr. Andrew Gih tahun 1952.11 Institut Injil Indonesia Batu, mulanya “Sekolah
Alkitab Keluarga” berdiri tahun 1957 oleh misionaris asal Jerman, yakni German
Edy dan kemudian dipimpin dan diselenggarakan oleh Petrus Octavianus.12 Tahun 1966, Stanley Heath memulai
Sekolah Tinggi Alkitab Tiranus,13 dan demikian seterusnya STT yang lain berdiri.
Jadi, keberadaan Perguruan Tinggi Keagamaan Kristen di negara Indonesia sudah
mencapai usia 90 tahun di wilayah NKRI dan telah berkontribusi besar sebagai
satu sub-sistem Pendidikan nasional dalam mewujudkan tujuan Pendidikan nasional
yakni mencerdaskan kehidupan bangsa.
Pendidikan Keagamaan yang diselenggarakan baik oleh
Pemerintah maupun Masyarakat berupa Perguruan Tinggi Keagamaan Kristen (PTKK)
di seluruh wilayah NKRI dijamin oleh Pemerintah sesuai dengan pasal 30
Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan
sesuai dengan pasal 9 dan pasal 27-30 Peraturan Pemerintah RI Nomor 55 Tahun
2007 tentang Pendidikan Agama dan Keagamaan, meliputi Pendidikan Keagamaan
Kristen. Karena itu, Pemerintah berhak menilai seluruh PTKKI tersebut. Penilain
terhadap Perguruan Tinggi ditetapkan melalui UU nomor 2 tahun 1989,14 namun Standar Nasional Pendidikan
baru ditetapkan Pemerintah pada tahun 2012.15 Karena Pemerintah yang menilai, maka seyogyanya
Pemerintah yang memper-siapkan dan membina PTKKI. Sayangnya, pembinaan terhadap
PTKKI baru dilaksanakan oleh Pemerintah setelah Standar Nasional Pendidikan
tersebut ditetapkan, sehingga terkesan mendadak dan tak pelak pada umumnya
PTKKI “kaget”, sebagian besar berkomentar bahwa tahun 2012 adalah tahun
“kiamat” bagi banyak PTKKI.
Tahun 2020 Pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan nomor 5 tentang Akreditasi Program Studi dan
Perguruan Tinggi.16 Namun satu tahun sebelumnya, Pemerintah telah
menerbitkan Peraturan Pemerintah nomor 46 tahun 2019 tentang Pendidikan Tinggi
Keagamaan.17 Jalan-jalan
Pendidikan tinggi keagamaan di Indonesia masih berada di persimpangan jalan.
Pada satu sisi, semua PTKKI berada di bawah bimbingan Ditjen Bimas Kristen
Kementerian Agama, namun di sisi lain, penilaian terhadap PTKKI diadakan oleh
Badan Akreditasi Nasional yang nota bene menilai semua Perguruan Tinggi yang
berbeda rumpun ilmu. Rumpun ilmu kegamaan Kristen dinilai dengan instrumen dan
standar yang sama untuk semua rumpun ilmu yang lain. Hal ini memberikan signal
kepada kita anak bangsa bahwa PTKKI belum dinilai sesungguhnya dan seutuhnya
sesuai hakikat keilmuannya, kecuali dinilai hanya pada lapisan luar secara administratif
yang bergantung pada data-data yang dapat diadakan dan diada-adakan. Bukan
rahasia lagi!
Dengan diberlakukannya Undang-Undang nomor 46 tahun 2019
tentang Pendidikan Tinggi Keagamaan, maka penilaian (akreditasi) pun sepatutnya
berdasarkan instrument dan standar rumpun ilmu keagamaan. Itu artinya,
dengan satu alat ukur yang sama dipakai untuk semua program dan jenjang studi
semua rumpun ilmu, pastilah penilaian belum sampai pada “kedalaman”, sehingga
jalan-jalan Pendidikan pun mudah rusak dan berlobang. Itu pun berarti penilain
unggul, masih pada tataran “adminsitrasi” pengelolaan prodi dan sekolah, belum
sampai pada kedalaman ilmu. Akreditasi dengan menggunakan sembilan standar yang
sama untuk semua membukakan bahwa akreditasi semua prodi dan institusi masih
bersifat general (permukaan) belum bersifat spesifik (kedalaman) untuk masing-masing program studi sesuai rumpun ilmu,
alhasil pendidikan di Indonesia belum bercahaya, sehingga masih banyak anak
bangsa yang harus menuntut ilmu di negeri orang. Selain berada di persimpangan
jalan yang rusak, Pemerintah juga membuat jalan yang panjang bagi semua PTKKI.
Semua proses dimulai pada institusi sendiri, diserahkan kepada Ditjen Bimas
Kristen (DBK) Kementerian Agama dan diteruskan kepada Kemendikbud, Riset dan
Teknologi, selanjutnya dikembalikan kepada DBK untuk diteruskan kepada PTKKI.
Jalan yang sangat panjang dan melelahkan. Terlalu banyak waktu dan energi
terbuang untuk melewatinya dan bahkan menunggunya dengan tanpa berita kecuali
dikejar-kejar. Selain jalan panjang, juga jalan yang berliku-liku! Untuk urusan
Nomor Induk Dosen Nasional, masih juga menempuh jalan panjang dan berliku,
yakni melalui DBK Kemenag RI dan diteruskan kepada Kemendikbut Riset dan
Teknologi dan dikembalikan kepada DBK kemudian diteruskan kepada dosen-dosen
PTKKI. Tidak heran, masalah pada umumnya PTKKI adalah masalah administrasi
dosen, bukan karena alpanya dokumen dan malasnya para dosen tersebut, namun
jalannya terlalu panjang, sempit dan berbatu. Oh dosen-dosen PTKKI, nasibmu!
Selain urusan NIDN, urusan jabatan fungsional dosen
juga melewati jalan panjang, sempit dan berliku-liku, sehingga banyak PTKKI
yang dosen-dosennya tidak memiliki jabatan fungsional, sekalipun mereka telah
dan sedang berjuang dengan segenap hati, jiwa, kekuatan dan akal budi. Karena
itu, apabila NIDN diperoleh oleh dosen-dosen, banyak yang bersorak dan
berpesta, karena hal itu termasuk mujizat para dosen. Karena jalan mengurus
jabatan fungsional dosen demikian Panjang, sempit dan berliku sehingga berdampak
pada rendahnya nilai akreditasi program studi dan institusi banyak PTKKI.
Masalahnya bukan hanya jalan panjang, sempit dan berliku, melainkan juga jalan
buntu pengurusan jabatan fungsional baik lektor kepala maupun guru besar. PTKKI
yang berada langsung di bawah bimbingan DBK hanya diberikan jalan “hak” menilai
karir dosen atau dari Asisten Ahli sampai Lektor 3-D. Akibatnya, ratusan dosen
berhenti pada jabatan lektor 3-D selama 12 tahun, seperti pengalaman penulis.
Jalan buntu jabatan fungsional ini disebabkan oleh
karena Pemerintah belum menyediakan Direktorat Jenderal Pendidikan Kristen
seperti Direktorat Jenderal Pendidikan Islam (Pendis) Kementrian Agama RI.
Buktinya, sampai usia PTKKI mencapai 90 tahun di NKRI ini, belum satupun dosen
PTKKI di bawah bimbingan Ditjen Bimas Kristen Kementerian Agama, kinerjanya dihargai Negara
sampai pada jenjang guru besar. Dosen-dosen PTKKI telah menempuh perjalanan
yang panjang, selama 90 tahun, banyak yang berkualitas dan berdedikasi lebih
mumpuni dari guru besar lainnya, namun tidak mendapatkan penghargaan Negara,
tidak satupun yang tiba dengan selamat sampai pada guru besar. Banyak yang
hanya berakhir di tengah jalan panjang, karena terlalu panjang, lebih panjang
dari usia dosen. Selain jalan sempit, berliku-liku dan panjang, juga PTKKI
mengadapi jalan rusak dan buntu. Dua dosen dengan jabatan akademik “guru besar”
adalah syarat mutlak untuk mendapatkan “ijin operasional” program studi teologi
jenjang doktoral pada perguruan-perguruan tinggi teologi di Indonesia (PTKKI).
Kadang-kadang “ijin operasional” program studi doktor teologia telah diberikan
oleh DBK kepada PTKKI, namun kepada DBK tidak diberikan wewenang untuk
memberikan penghargaan kepada dosen-dosen PTKKI yang dibimbingnya sampai pada
guru besar. Pemerintah Pusat hanya memberikan kewenangan kepada Direktorat
Jenderal Bimbingan Masyarakat Kristen (DBK) Kementerian Agama RI untuk
menghargai kinerja dosen PTKKI hanya sampai pada lektor 3-D. Tidak satupun guru
besar diberikan oleh Negara pada dosen PTKKI melalui DBK. Akibatnya, pemerintah
memberi tempat pada praktik “simsalabim” guru besar (profesor) tak sebidang
ilmu (non-teologi) dan yang telah purnabakti (pensiunan) memenuhi syarat mutlak
prodi-prodi doktoral PTKKI dan karena “manipulasi” yang demikian beberapa
program studi doktoral PTKKI terakreditasi juga biarpun hanya segelintir dan
nilainya tidak seberapa.
Jalan menuju akreditasi prodi-prodi pada PTKKI,
bukan lagi jalan yang terlalu panjang dan sempit, melainkan juga jalan yang
terlalu rusak, berbatu dan berlobang, dan harus berhenti pada jalan buntu
(tidak ada jalan). Satu sisi, Pemerintah membuka pintu penyelenggaraan program
doktroral, namun di sisi lain, Pemerintah menutup pintu dengan menetapkan
syarat mutlak penyelenggaraan program doktor. Hal inilah yang telah berakibat
pada kelangkaan dosen bergelar doktor pada program-program studi jenjang
magister, dan hal itu berakibat juga pada kelangkaan dosen bergelar magister,
sedangkan untuk menjadi dosen harus (syarat mutlak) bergelar master. Oh…nasibmu
PTKKI. Dosen untuk program studi jenjang magister harus diampu oleh dosen
bergelar doktor, sedangkan Pemerintah
tidak membuat jalan, yang ada hanya Ditjen Bimas Kristen, tidak berkapasitas
memberikan penghargaan terhadap kinerja dan pengembangan karir dosen sampai
guru besar. Padahal kepada sesama saudara anak bangsa sama diberikan Direktorat
Jenderal Pendidikan Islam (Pendis). Apabila jalan buntu ini terus dibiarkan,
maka “hari kiamat” bagi PTKKI bukan lagi hanya “gurauan”.
Ada sedikit penerangan pada jalan gelap dengan
diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 46 tahun 2019 tentang Pendidikan
Tinggi Keagamaan, namun sudah hampir tiga tahun, Peraturan ini belum juga
“terasa” sedikitpun artinya bagi PTKK di seluruh NKRI. Sekalipun melalui
Peraturan tersebut, Bapak Presiden telah membuat jalan lebih pendek untuk
urusan jabatan fungsional dosen sampai pada guru besar (profesor), karena dalam
Peraturan tersebut telah memberikan mandat kepada Kementerian Agama untuk dapat
menilai dan menghargai kinerja dosen sampai pada guru besar, namun kepada
Ditjen Bimas Kristen masih belum dibuatkan jalan sendiri, sehingga semua PTKKI
masih harus “meminjam” jalan saudara yang baik hati.
Bukan hanya belum tersedia jalan sendiri, ternyata
Peraturan tersebut belum menyediakan jalan yang sesuai untuk penilaian mutu
eksternal melalui akreditasi yang sesuai dengan rumpun ilmu keagamaan, yakni
theologia, misiologia dan pendidikan Kristen dengan semua “anak-cucunya”,
sehingga belum tersedia jalan untuk mewujudkan mutu sesungguhnya sesuai
keilmuan dan mutu melampaui standar minimal perguruan tinggi. Begitu juga
dengan urusan nomor induk dosen nasional (NIDN), ternyata masih harus melawati
jalan panjang dan berliku melalui jalan Kemendikbut Riset dan Teknologi. Ibu
pertiwi pun turut sedih dengan pembiaran ini, namun masih ada harapan pada
Presiden Indonesia kita sekarang sangat tidak menghendaki pembiaran tersebut
terus berlangsung.
Suatu Permohonan Kepada Bapak Presiden
Republik Indonesia: PTKKI
Memerlukan “Jalan Keselamatan” untuk Mencapai Akreditasi Unggul
Mencermati persoalan jalan sempit, rusak, panjang
dan buntu bagi Perguruan Tinggi Keagamaan Kristen Indonesia, maka “nubuatan”
kiamat sepuluh tahun lalu, yakni pada tahun 2012 mulai digenapi pada tahun 2022
ini. Semua Perguruan Tinggi Keagamaan Kristen di NKRI yang berjumlah sekitar
386, ungkap Direktur Pendidikan Bimas Kristen Kemenag RI,18 dan tidak satupun menjadi tempat
“teroris” dan tidak satupun yang anti Pemerintah, melainkan menjunjung
tinggi Pancasila sebagai Dasar Negara, mempertahankan NKRI, namun sangat
disayangkan, satu persatu akan “berhenti” berjalan menurut Peraturan karena
jalan buntu, sehingga berhenti terlibat langsung dalam pembangunan bangsa
Indonesia, kecuali hanya membangun dan memperkuat gereja-gereja di NKRI.
Penulis sangat bersyukur dengan kepemim-pinan Bapak Ir.
Joko Widodo sebagai Presiden Republik Indonesia yang banyak membuat jalan di
banyak wilayah NKRI sehingga semuanya terhubung dengan mudah dan cepat satu
dengan yang lain. Selain mempercepat roda ekonomi, juga membuka akses
pendidikan di banyak wilayah NKRI yang tertinggal selama ini. Banyak juga
“jalan” berupa Peraturan-Peraturan Pemerintah yang dihasilkan sehingga banyak
jalan yang selama ini “jalan buntu” di banyak bidang telah terbuka jalan. Berkenaan
dengan itu, perkenankan penulis sebagai anak bangsa Indonesia menyampaikan
permohonan kepada Bapak Presiden untuk mengatasi banyak masalah jalan buntu
PTKKI, dan masalah itu hanya dapat diatasi oleh Pemerintah, yakni menyediakan
jalan berupa Direktorat Pendidi-kan Kristen pada Kementerian Agama Republik
Indonesia sesuai amanat UUD RI Tahun 1945 dan UU RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional yang menjamin pemerataan kesempatan Pendidikan,
pening-katan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan demi
pembaharuan pendidikan secara terencana, terarah dan berkesinambungan.19
Kami yakin, dengan adanya Direktorat Jenderal Pendidikan
Kristen dalam Kementerian Agama Republik Indonesia, maka jalan sempit pun akan
diperlebar, jalan rusak pun pasti dapat diperbaiki, jalan panjang pemenuhan dan
peningkatan mutu PTKKI pun dengan sendirinya dapat dipersingkat, lebih cepat
dan ekonomis. Dengan demikian, anak-anak bangsa Indonesia yang hidup dan
mengabdi bagi Tuhan dan bangsanya Indonesia, yakni semua pemangku kepentingan
dari semua PTKK di seluruh NKRI akan berdiri bersama dengan semua anak bangsa
di semua Perguruan Tinggi Keagamaan yang lain sebagai sub-sistem pendidikan
nasional, berfungsi mengembangkan kemam-puan dan membentuk watak dan peradaban
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan
berkembangnya potensi peserta didik sebagai manusia beragama, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang
demokratis dan bertanggung jawab, demi kuat dan majunya bangsa Indonesia.
Kesimpulan
Satu sub-sistem pendidikan nasional terganggu,
apalagi sampai terhenti, maka pastilah terganggu dan terhenti juga pencapaian
tujuan pendidikan nasional. 386 PTKKI yang tersebar di seluruh wilayah NKRI
adalah sub-sistem pendidikan nasional. Semuanya turut berperan dalam mewujudkan
tujuan pendidikan nasional, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa, dengan
mendidik anak-anak bangsa sendiri, sehingga menghasilkan sumber daya manusia
Indonesia yang berkualitas dan berintegritas karena memiliki landasan rohani
(beragama), filosofis (bermoral) dan sosial (beradab). Ketiga landasan inilah
yang disumbangsihkan oleh PTKKI sejak sebelum kemerdekaan bangsa Indonesia.
Namun ke-386 PTKKI tersebut sedang berhenti di jalan buntu dan menunggu
Pemerintah membuka jalan. Hanya Presiden Republik Indonesia, Yang Terhormat
Bapak Ir. Joko Widodo yang dapat membuka jalan tersebut. Jalan tersebut adalah
Direktorat Jenderal Pendidikan Kristen, Kementerian Agama Republik Indonesia.
Demikianlah permohonan disertai dengan penjelasan penulis. Tuhan Yesus Kristus
terus memberkati Bapak Presiden dan bangsa Indonesia. Terima Kasih